CERPEN "TAK ADA BATAS USIA UNTUK BERAMAL"
TAK ADA BATAS USIA UNTUK BERAMAL
oleh: Fitriyani Maryani
Terik matahari
membuatku penuh dengan keringat, kuusap sejenak kelelahanku sambil menyusuri
jalan dengan mengendarai sepeda motor kutengok kanan dan kiri. “Disana,
berhenti disana ri. Ada sebuah masjid di pinggir jalan” Ujar temanku. Kami
sedang mencari sebuah masjid untuk tugas mata kuliah. Namaku Fitriyani, teman-temanku
biasa memanggilku Riri dan temanku ini namanya Ima. Kami mendapatkan tugas
penelitian/liputan tentang Masjid dari salah satu mata kuliah yang sedang kami
jalani di semester 3 ini. Akhirnya aku mematikan sepeda motorku dan
memarkirkannya di halaman masjid. “Permisi pak.. Boleh saya bertanya, DKM
Masjid ini siapa ya?” ujarku. Saat itu kami sedang bertanya-tanya kepada
salahsatu marbot yang ada di masjid. Segeralah marbot itu memberitahu dan kami
langsung menuju rumahnya.
“Benarkah ini rumahnya?” Ima pun mulai memastikan.
“Aku pikir memang ini rumahnya” Jawabku.
Seiring waktu
berjalan setelah kami mendapatkan satu masjid, aku sepakat masjid ini yang akan
dijadikan penelitian Ima untuk tugasnya. Lantas aku mencari masjid lain dan
kami berkeliling, setelah beberapa menit akhirnya kami menemukan salahsatu
masjid yang berada di tepian jalan. Aku bertanya kepada Ibu-ibu yang sedang
mengobrol di warung dekat masjid itu.
“Assalamu’alaikum.. Punten bu, kalau DKM masjid ini rumahnya di
mana ya?” Tanyaku tanpa basa-basi,
“Wa’alaikumsallam neng. Oh DKM nya bapak Endang, rumahnya masuk
gang pinggir masjid ini.” Jelas seorang ibu yang terlihat sudah berumur. Akupun
mengangguk bingung dengan jawaban ibu ini, aku tidak tahu pasti dimana rumahnya
jika aku sudah memasuki gang itu.
“Hayu bareng sama ibu aja neng, kebetulan ibu mau pulang dan
rumahnya dekat dengan rumah ibu.” Ajaknya.
“Oh iya bu dengan senanghati, hatur nuhun bu.” Berjalanlah kami menuju
rumah DKM Jami Miftahussa’adah.
Aku dan Ima tidak
mengetahui siapa nama ibu ini, namun perjalanan kecil kami di iringi dengan
obrolan ringan berkat adanya si Ibu. Sesampainya ditempat tujuan langsung aku
mengetuk pintu bapak Endang. Ucapan salam sudah terlontar 3kali dari mulut kami
dan tak ada satupun jawaban. Hadirlah seorang anak SD yang terlihat akan
memasuki rumah itu, “Dik, adik penghuni rumah ini? Bapak Endang nya ada? Boleh
dipanggilkan bapaknya.” Entah kenapa aku langsung menanyainya dengan berbagai
pertanyaan inti, lagi-lagi tanpa basa-basi. “Iya teh, duka atuh. Bentar ya..”
Ujar anak itu memasuki rumahnya. Tak lama seorang kakek paruh baya muncul di
hadapan kami. Aku menanyakan beberapa pertanyaan dibantu Ima dan mencatat data
yang aku perlukan. Dengan keterbatasan pendengarannya bapak Endang menjawab
pertanyaan kami. Yang kami butuhkan untuk tugas awal hanya data Masjid nya
saja, maka dari itu hanya beberapa ulasan pertanyaan dan kami langsung pulang.
Hari sudah gelap
menandakan giliran bulan yang bersinar, aku membuka kembali catatan yang tadi
siang tentang data Masjid Jami Miftahussa’adah. Kulihat kembali dengan teliti
dari lensa kacamata ini, ternyata nomor telepon nya tidak ada. Ah aku baru
ingat tadi bapaknya lupa dengan nomor teleponnya dan entah kenapa aku buru-buru
lantas aku jawab tidak apa-apa lain kali saja. Bodohnya aku padahal itu
salahsatu sumber untuk menghubunginya.
Beberapa hari kemudian aku dan Ima menyusuri kembali jalan menuju
Masjid, ku naikan gas motorku kali ini untuk wawancara. Kupersilahkan Ima untuk
pertama mewawancarai narasumbernya, kutemani dia. Sudah beberapa menit berlalu
dan usai sudah wawancaranya. “Alhamdulillah gak ada hambatan ya ri.” Ujarnya
lega dan aku hanya tersenyum menjawabnya. Petang ini aku kembali menuju rumah
bapak Endang yang akan ku wawancarai.
“Silahkan masuk..” Bapak Endang mempersilahkan.
“Iya pak, terimakasih.” Jawab kami sungkan.
Sebenarnya beliau
sedang beristirahat tidur siang, aku merasa tak enak kepada beliau. Tapi mau
bagaimana lagi sudah terlanjur kami mengganggunya. Sejarah berdirinya Masjid
aku tanyakan kepadanya, terkadang pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama
sekali. Aku maklumi saja karena memang beliau sudah lanjut usia. Setelah
mendengar ceritanya tentang sejarah Masjid ini aku bertanya bagaimana bisa
beliau masih menjadi seorang DKM di usia lanjutnya sekarang. Panjang lebar
beliau menjelasakannya kepadaku.
Ternyata memang ada
seorang donatur yang berpesan dulu ketika beliau masih muda dan sudah menjadi
DKM Jami Miftahussa’adah bahwa tidak boleh mengganti DKM nya sebelum bapak
Endang meninggal. Aku sontak kaget, memangnya alasan apa yang membuat donatur
tersebut berkata seperti itu. Singkat cerita maka dari itu sampai sekarang tak
ada yang menggantikan beliau. Bukan karena tidak ada orang yang ingin
menggantikannya, hanya saja bapak Endang memang tidak akan menyerahkan posisi
itu kepada orang lain sebelum beliau meninggal dunia. Beliau hanya ingin
menjaga amanah donatur tersebut.
Memang tidak sulit
menjadi seorang DKM dan menjalankan tugasnya apalagi masjid ini memang tidak
begitu besar. Namun di usia 70 tahun keatas bukankah seharusnya beristirahat
apalagi dengan kondisi yang mulai renta. Aku terheran-heran dengan Ima, dengan
penasaran Ima bertanya.
“Pak, bagaimana rasanya menjaga amanah itu dan apa keluh kesahnya
sejauh ini, apakah bapak merasa kesulitan?”
“Tidak ada kesulitan sejauh ini bapak senang-senang saja dan sudah
kewajiban bapak menjaga amanahnya. Selagi bapak masih bisa beramal kenapa
tidak. Lagi pula bapak kan menjaga rumah Alloh, tidak ada satupun kesulitan
yang bapak rasakan” Jelasnya. Kami tersentuh dengan jawaban beliau.
“Lalu bapak akan menjadi DKM sampai maut menjemput?” Tambahku.
“Iya, insyaalloh selama bapak masih mampu. Jamaah disini juga sudah
pada tahu kalau bapak sudah lama menjadi DKM di Masjid Jami Miftahussa’adah.“
Jawabnya.
Setiap sebelum
adzan bapak Endang Abdurrohim selalu melangkahkan kaki nya menuju tempat
beribadah umat Islam itu. Tak terlewatkan setiap waktunya sholat dari subuh
hingga isya kecuali saat kondisinya sedang sakit. Jamaah yang sering sholat di
masjid pun memang rata-rata orangtua renta, namun tak sedikit anak-anak muda
yang memenuhi masjid itu. Kegiatan pengajian yang aku tahu pun hanya pengajian
bapak-bapak. Namun bapak Endang tidak berhenti menjadi tamu Baitulloh tersebut.
Kami terenyuh
dengan kisah beliau yang menjadi inspirasi bagi kami. Betapa berharga sebuah
keikhlasan bagi siapapun hingga menjadi sebuah amalan sholihah bagi yang menjalankannya.
Beliau menunjukkan kepada kami bahwa jika ingin beramal maka jangan kenal usia, waktu, dan usaha. “Semoga Alloh
senantiasa memberi bapak kesehatan untuk bisa terus beramal.” Ujarku kepada
beliau. “Aamiin, terimakasih neng.” Pamitlah kami kepada beliau. Ku putar
balikkan motorku dan melaju ke arah jalan pulang.
Komentar
Posting Komentar