Aku Ikhlas..

            Alasan sebuah kasih sayang lahir dari kehidupan dua insan. Sosok pemuda yang aku kagumi bukan karena paras wajahnya, namun akhlak dan sikap baiknya. Sudah tiga tahun aku menjadi teman dekat sosok pemuda itu. Kami mengisi sungai yang kering dengan air cinta, entah itu saat termanis atau terpahit. Aku merasa ini bukan hanya sekedar kasih sayang biasa yang semu akan kehidupan dunia. Namun ini kasih sayang tuhan yang ada dalam dirinya. Jujur, saat aku mulai mengeluh dan meratapi kehidupan yang menurutku sangat hancur, dia seperti sosok tuhan yang bernyawa dengan firmannya menegurku dan berhasil membuat hatiku tak goyah menjalani hidup dengan beribadah untuk Allah.
            Ku tuliskan rangkaian kata ini untuk dia yang tengah berada dalam dekapan tuhan. Kau tahu, setiap sujud aku selalu meminta agar kau kembali untuk hidup di alam yang sama denganku. Aku bodoh saat mempercayaimu berkata tak akan pernah meninggalkanku. Aku idiot saat terus memberimu pesan singkat melalui SMS, padahal kau tak membawa handpone ke alam kubur. Kau kemana? Ini sudah tepat tiga tahun kita berjanji dengan tuhan untuk selalu bersama. Ingatkah akan kata terakhirmu? “Iya, gak akan pernah ninggalin”. Kau seolah membuatku berharap dengan realita yang terbalik dengan ungkapan itu. Kesadaranku minim saat mengenang dan mengingatmu. Luka busuk terbalut oleh tubuh ini, air mata kering menerjang wajahku.

            Ikhlas, begitukah seharusnya aku? Iya aku ikhlas, akan ku serahkan semuanya pada tuhan. Sakit yang menggerogoti tubuh memang aku tak sanggup melihatmu kesakitan. Memilih kau tak merasakan sakit akan virus yang kejam daripada membiarkan kau hidup dengan kesakitan. Jika ada yang namanya cinta mati, aku mengatakan bahwa cintaku cinta mati. Bukan karena kepergianmu, namun biarkan yang memisahkan kita hanya kematian yang di ridhai tuhan.
            Siapa sekarang yang bisa menegurku? Kenangan saat kau memberikanku petuah layaknya orangtua kepada anaknya, itulah teguran tak berwujud untukku saat ini. “sedang apa kau saat ini? Apakah kau masih mengingatku?” pertanyaan sekaligus tamparan untukku ketika aku mulai bodoh mengharapkanmu kembali. Waktu dimana aku pertama mendengar ketiadaanmu dan menangis sejadi-jadinya, tak sadar ibuku melihatku. Dia bertanya “Kenapa kau menangis nak, apa yang terjadi?” Aku menjawab dengan terus menangis “Dia telah meninggal bu, pemuda itu”. Ibuku terlihat prihatin dan memberikanku nasihat “Nak, masih banyak pemuda di dunia ini. Ikhlaskan kepergiannya agar dia tenang. Dihari yang tepat pasti kau akan menemukan pemuda yang lebih baik dari sosoknya.”
            Bukan soal pengganti, bukan soal masih banyak lelaki lain, dan bukan soal yang lebih baik. Ini takdir yang tak ku harapkan, semuanya tak beralasan bagiku. Hanya luka kehilangan ini yang tahu bagaimana keadaanku. Sudah, waktu mengenang sudah usai. Saatnya menatap kedalam realita, itu masalalu yang akan terus ada dalam diriku. Berbeda dengan masadepan, masalalu menjadi seorang guru untuk masadepan. Simpanlah memori indah dan burukmu, kadang mengenangnya menentukan bagaimana kamu hidup di masa yang akan datang.


Bandung, 28 Desember 2015.

         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU "Komunikasi Lintas Budaya (Memahami Teks Komunikasi, Media, Agama, dan Kebudayaan Indonesia)"

Naskah Dakwah "Keutamaan Puasa Senin dan Kamis"

Pidato Bahasa Inggris "Religious Education"